notes of Hari Pitrajaya

just ordinary person in this extraordinary world

Dimana Tempat Terindah di Bumi?

with 4 comments

Sampai suatu titik, sulit sekali rasanya bagi saya untuk menemukan jawaban dari judul blog ini. Sebuah pertanyaan yang terlintas begitu saja di benak ini suatu ketika, saat menempuh perjalanan menuju kantor. Saya kemudian terpikir untuk mengamati setiap spot menarik yang dilalui kendaraan umum yang saya tumpangi.

Saya lihat ke kiri, jajaran pertokoan yang lahan parkirnya penuh dengan kendaraan. Sumpek, tapi mungkin indah buat orang-orang yang mencari rejeki di situ. Saya lihat ke kanan, kali kecil yang airnya nyaris surut berwarna kehitam-hitaman. Menjijikkan, tidak indah sama sekali. Tapi mungkin indah buat para pemulung yang tengah mengais sisa-sisa sampah untuk dijual kembali.

Kendaraan masih melaju saat saya lihat kesibukan para pekerja yang tengah membangun apartemen. Masih belum rampung. Tapi kelihatannya bakal jadi tempat yang nyaman dan indah buat penghuninya nanti. Entahlah.

Tak berapa lama, kendaraan umum ini melewati pasar yang semrawut. Dipenuhi kendaraan lalu lalang, sampah berserakan hingga orang yang hilir mudik dengan kesibukannya masing-masing. Lagi-lagi tempat yang sangat tidak indah buat saya. Kecuali mungkin bagi para pedagang yang menggantungkan hidupnya di situ. Atau bagi para pembeli yang memang ingin berbelanja dengan harga murah meriah. Bisa jadi tempat itu indah buat mereka.

Lantas pikiran saya mulai menerawang. Saya ingat pernah mengunjungi beberapa tempat yang kata orang sangat indah. Tempat yang kabarnya bakal membuat terkagum-kagum dan rindu untuk kembali.

Saya pernah ke pulau Bangka. Tempat nan eksotis dan hijau. Beberapa pantainya sempat membuat saya begitu terpesona. Ciptaan Tuhan yang pantas disyukuri. Saya juga pernah ke pantai Senggigi, Lombok. Luar biasa menawan. Hamparan lautnya begitu biru jernih.

Indah memang dua tempat itu, namun hati ini masih enggan mengakui bahwa itulah keindahan yang saya cari. Bukan itu tempat terindah di bumi buat saya. Kenapa? Lantaran ongkos ke sana tak indah buat saya. Dan, entah kenapa saya tak bisa secara sempurna menikmati keindahannya. Mungkin karena tak ada anak istri di samping saya. Dan lagi, saya ke sana karena tuntutan pekerjaan.

Ah, semua lamunan itu buyar kala saya tiba di kantor dan mesti langsung menghadapi deadline ketat sampai tengah malam. Alhasil, saya pun bekerja habis-habisan.

Singkat cerita, semua urusan kantor selesai sudah. Saya pun pulang ke rumah membawa semua rasa lelah. Perjalanan hampir tak terasa lantaran saya yang terkantuk-kantuk di dalam kendaraan umum gara-gara kecapekan. Akhirnya, sampailah di depan pintu kontrakan.

Tok, tok, tok! Kuketuk pelan pintu depan, takut membangunkan tetangga karena malam sudah sangat larut. Istriku yang sudah kutelepon lebih dulu dengan cekatan langsung membuka pintu.

Kulihat dengan wajah terkantuk-kantuk ia masih berusaha tersenyum ceria menyambut kedatangan suaminya di depan pintu. Aku tahu dia sebenarnya tak bisa tidur demi menungguku. Padahal, sama sepertiku dia pun pasti sibuk mengurus bocah cantikku seharian.

Ah, aku tersentak begitu masuk ke ruang tengah. Si bocah pun ternyata belum tidur. Ternyata seperti istriku, ia rela begadang menunggu pipip-nya pulang. Bahkan, ia tampak masih segar dan melonjak-lonjak kegirangan melihat kedatanganku. Matanya yang indah tampak berbinar. Oh, senyum itu membuatku tak kuasa untuk langsung mendatangi, menggendong dan memeluknya. Kucium dia berulangkali.

Mendadak aku tersadar. Pikiranku kembali ke lamunan tadi siang. Oh, aku menemukan sesuatu. Malam itu, aku menyadari dengan kesadaran yang paling sadar, bahwa tempat yang kucari-cari tadi siang ternyata ada di kontrakan sempit ini. Ya, petak kecil yang kutinggali, keluarga kecil ini, kehangatan, suka duka dan kebersamaan di dalamnya adalah tempat terindah di bumi itu. Bagiku.

Written by haripitra

September 23, 2010 at 7:59 am

Teroris dan Miyabi Jadi Tumbal Media?

with one comment

Berbarengan dengan pemberitaan teroris dan tetek bengeknya, muncul pula berita tentang meninggalnya Miyabi (kabarnya sih HOAX atau berita palsu). Dua berita itu cukup panas hari ini. Saya yang tadinya kurang begitu responsif terhadap berita di media langsung sok jadi pengamat.

Berbicara tentang teroris, rasanya publik harus sedikit ‘jeli’ lantaran terus dijejali dengan kabar yang kurang berimbang. Informasi yang terus ditembakkan media hanya sepihak saja dari sudut pandang kepolisian. Bobotnya? Kalau saya sih memerlukan ‘cover both side’ dulu sebelum bisa mempercayai kualitas informasi yang dipaparkan media-media.

Saya sebenarnya prihatin juga dengan peristiwa penyerbuan polsek di Sumatera Utara oleh segerombolan orang yang menelan korban jiwa. Pelakunya teroris? Entahlah. Tapi saya belum bisa mempercayai tudingan polisi. Atau pelakunya TNI? Saya lagi-lagi tak bisa menjawab.

Balas dendam teroris katanya? Bisa ya bisa tidak. Bagaimana kalau itu ulah kalangan yang ingin memancing di air keruh saja. Atau perbuatan segelintir ‘grup’ yang sengaja ingin mengadu domba. Atau lagi kemungkinan bisa saja sebuah rekayasa yang dibuat untuk ‘menuduh’ golongan tertentu. Sulit diketahui kebenarannya jika informasi yang mengalir hanya dari satu sumber.

Lalu bagaimana dengan berita Miyabi meninggal? Ini menjadi salah satu referensi saya untuk tak langsung mempercayai informasi. Pasalnya, berita tersebut dipercayai oleh sebagian kalangan yang langsung main serap informasi dan berita tanpa menyaringnya terlebih dahulu hanya karena populer.

Tapi, nyatanya, si Miyabi ini enjoy-enjoy saja dan masih hidup. Malahan, si aktris asyik bermain twitter saat ‘isu’ meninggalnya dia beredar. Padahal ada yang menyebut dia mati saat tengah main film porno. Ada yang menyebutnya mati gara-gara AIDS dan lain-lain.

Intinya, jangan terlalu percaya dulu kata-kata, berita atau informasi sebelum dicerna dan disaring. Siapa tahu di belakang sana ada ‘proyek’ besar yang sedang dirancang. Atau semuanya wacana ‘teroris’ yang tengah ramai diperankan oleh penjahat dan jagoan dari grup yang sama. Hayo!

Written by haripitra

September 22, 2010 at 12:27 pm

Insiden Soto Mie Itu….

with 15 comments

Sebuah peristiwa kecil yang menurut saya menggelikan terjadi saat makan siang hari ini. Bukan ingin mendiskreditkan seseorang tapi memang ‘kelucuan’ ini terjadi gara-gara miskomunikasi yang fatal atau memang kekurang-ngeh-an sang penerima tugas.

Syahdan, saya sedang asyik mengetik berita di depan komputer siang itu. Tiba-tiba masuklah dia (OB baru) ke ruangan sambil nyeletuk, “Siapa yang mau makan siang?”

Saya cuek saja.

Tapi bos saya di meja lain langsung angkat telunjuk. “Saya pesan!”

OB baru: Pesan apa mas?

Bos: Soto mie ya.

OB baru: Oh, soto mie yang itu ya…Ok mas.

Mendengar nama menu makan siang yang cukup menggiurkan – soto mie yang memang enak itu – saya yang tadinya asyik-asyik saja dengan kerjaan langsung latah menjadi pengikut si bos. “Pesan juga dong, sama kayak bos.”

Singkat cerita, siang itu ada tiga orang yang memesan soto mie. Setelah mengumpulkan uangnya, sang OB baru langsung berangkat menunaikan tugas mulia-nya. Mengisi bensin sepasukan pekerja media yang memang sudah butuh tenaga.

Saya kembali asyik bekerja.

Sekitar setengah jam kemudian OB baru itu muncul dari balik pintu membawa amunisi yang kami pesan.  Pastinya, kami segera mengerubungnya seperti ‘lalat menemukan kotoran’. Haha, maaf saya selalu ngga kuat menahan tawa setiap ingat perumpamaan yang diciptakan teman saya itu. Dia sering berkata, “Aku mencintaimu bak romeo dan juliet, gula dan semut..eh terakhirnya, lalat dan t*i. Sial bener.

Akhirnya, soto mie itu pun dibagi-bagi dengan sukses. Saya belum ngeh. Bos saya belum ngeh dan teman saya yang satu lagi juga belum ngeh. Kami membuka bungkusan makanan itu hampir bersama-sama. Lho! Saat membuka bungkus plastik saya hanya menemukan indomie dengan telor dan daun sawi. Saya heran dong.

“Ini kok indomie doang?” saya protes sama OB baru yang kebetulan masih di ruangan.

“Lha, kan mas pesen Indomie Rasa Soto?” jawabnya polos.

Saya: ?????????????

Bos saya: ????????????

Temen saya: ?????????????

Pupus sudah bayangan tentang kikil soto mie-nya yang kenyal itu, risole-nya yang lezat dan kuahnya yang hmmm gurih. Melayang sudah.

Bukannya marah kami bertiga terpaksa menahan tawa dan menanggung derita ini. Apa daya, sebuah kesalahan telah terjadi akibat miskomunikasi. Terpaksa, kami bertiga tetap melahap ‘soto mie rasa baru’ tersebut.

Saya pun memetik sebuah pelajaran baru dari kejadian tersebut. Intinya, komunikasi dan cara penyampaian informasi yang benar kepada setiap ‘individu’ ternyata sangat penting. Kalau saja bos lebih jelas menyampaikan pesanannya yakni ‘soto mie Bogor’ tentu akan berbeda output-nya.

Saya juga seperti disadarkan bahwa setiap individu itu khas dan berbeda. Orang berbeda daya tangkap dan sudut pandangnya pun akan berbeda pula. Nah, kita sendiri-lah yang mesti menyadari itu dengan tak pernah menyamakan antara orang yang satu dengan yang lain.

Written by haripitra

September 22, 2010 at 10:28 am

Ditulis dalam Pencerahan

Tagged with , ,

Blogger Subang adalah….

with 8 comments

Foto Courtessy of Annas Nasrullah

Foto Courtessy of Annas Nasrullah

Belum lama saya kembali bersua dengan rekan-rekan blogger yang bernaung dalam ikatan Komunitas Blogger Subang. Setelah hitungan waktu yang terus bergulir menambah reyot tubuh ini, akhirnya saya bisa juga  menikmati momen pulang ke Subang dengan cara mengasyikkan. Betul, karena setiap pulang ke Subang saya hanya menjalankan rutinitas membosankan di rumah, kecuali menemani istri dan anak.

Bagaimana tidak asyik jika dari sebuah pertemuan yang mungkin hanya sekali dalam satu bahkan beberapa bulan, saya bisa melakukan banyak hal menyenangkan sekaligus. Menikmati santapan nan lezat itu  sudah pasti salah satunya. Siapa yang bisa lupa sambal racikan Bu Kaka yang hmmm….super. Atau ikan gorengnya yang renyah dan sayur asem yang bisa membuat lidah bergoyang-goyang keenakan.

Berkenalan dengan pejabat daerah yang low profile? Itu juga menyenangkan. Siapa sih yang tak kenal Pak Kaka Suminta, wartawan senior yang luas pengalamannya. Atau Pak Agus Masykur, salah satu pejabat DPRD yang pembawaannya tenang,  bersahaja dan sederhana namun ‘isi’ nya luar biasa. Bangga saya bisa mengenal mereka.

Ketemu kawan-kawan blogger yang macam-macam? Sangat menyenangkan juga. Serasa berpetualang. Ada beberapa kawan blogger lama seperti Annas yang gila tapi punya pemikiran ‘cadas’. Tak bakal berhenti kalau belum terlaksana apa yang dia mau. Atau kang Oki yang asyik diajak ngobrol tentang gadget. Kang Asep? Kesuksesannya layak ditiru. Kang Kiki, dahsyat, bisa membuat gempar salah satu instansi lewat tulisan.

Kawan-kawan blogger baru? Tak kalah menyenangkan. Deden? Punya karakter unik, sunda abis. Brian? pendiam tapi tulisannya ‘mantap’. Atau Bagus yang diam-diam punya blog yang menarik. Inin? Wartawan yang satu ini sangat support terhadap kegiatan KBS. Saya suka itu. Bicara soal blog, dia termasuk aktif di Kompasiana, bahkan tulisannya sempat membuahkan satu buah handphone. Ada juga Herman, salah satu ‘kokojo’ Viking Subang. Dia yang mengusulkan jenggot supaya jadi trademark BloggerSubang. Hahaha, ide menarik.

Kawan-kawan lain pun tak kalah hebat dan membuat saya kagum. Sampai-sampai  jika berbicara tentang BloggerSubang, orang-orangnya dan semua yang ada di dalamnya tak bakal cukup dimuat dalam blog saya ini.

Lebih dari semua hal menyenangkan yang saya dapat dari kumpul BloggerSubang ada ‘sesuatu’ yang begitu menancap kala itu. Ternyata setelah sekian perjalanan waktu,  ikatan yang kami bentuk ini sudah melebar tanpa saya sadari. Tak lagi merupakan sebuah ikatan formal tapi sudah menjalar jadi ikatan kekeluargaan. Luar biasa.

Saya dan kawan-kawan mampu berinteraksi dengan begitu akrab, meskipun intensitas komunikasi yang sebenarnya hanyalah lewat kabel, jaringan radio, papan ketik, PC, laptop dan ponsel. Tak ada batasan, keakraban yang muncul di komunitas ini mengalir begitu alami. Saya bisa berbicara dengan siapa saja tentang apa saja tanpa canggung. Seperti kata Annas, ’embel-embel’ yang melekat pada masing-masing individu seolah menghilang begitu saja.

Saya lupa kalau Pak Kaka atau Pak Agus seorang pejabat. Saya tak peduli di samping kaya orang miskin atau kaya. Yang ada hanya kedekatan dan keakraban. Plus makanan enak. Hahaha. Satu hal pasti, BloggerSubang bagi saya adalah keluarga. Bukan komunitas, bukan institusi, bukan organisasi.

Written by haripitra

September 22, 2010 at 9:20 am

Kala Jogging di Ruang Publik Alternatif

with 5 comments

Kemarin saya pulang lagi ke Subang. Kayaknya jadi menarik waktu lihat kawasan GOR di saat weekend. Setiap Minggu pagi, bisa dibilang sebagian besar masyarakat Subang tumpah ruah ke sana. Mereka menjejali lokasi itu sejak pagi buta sampai menjelang siang.

Saya kaget juga sih waktu pertama kali main ke situ buat sekedar olahraga. Ternyata GOR beralih jadi sarana strategis untuk berbagai hal selain olahraga. Mulai dari sarana keceng mengeceng anak-anak remaja, tempat gaul muda mudi, tempat dagang (sayur, perkakas dapur), hiburan (topeng monyet, naik kuda), cuci mata (liat gadis-gadis Subang-hehe), Bahkan, GOR Minggu pagi pun berubah menjadi lokasi berpromosi para pebisnis Subang (mebel, motor, tukang panic MLM, pulsa, dll).

Kondisi tersebut cukup menggelitik pikiran saya, ternyata warga Subang memang sangat mendambakan ruang publik (tempat hangout) murah meriah yang bisa mengakomodasi kebutuhan bersosialisasi mereka (berbagai kalangan). Karena tak kesampaian dan tampaknya memang belum ada yang murah meriah (gratis), dalam prosesnya terbentuklah GOR menjadi alternatif ruang publik dadakan.

Secara pribadi saya beranggapan, biarpun hanya ‘hidup’ pada hari Minggu, dalam kondisi seperti sekarang, keriuhan di GOR besar artinya bagi kalangan yang haus hiburan. Buat sebagian orang, saya rasa GOR Minggu pagi cukup membantu melepas penat dan mengurangi sejenak rutinitas hidup. Namun, satu hal yang patut digarisbawahi, kapan Subang punya ruang publik yang ‘sebenarnya’?

Written by haripitra

September 1, 2010 at 1:32 pm

Perintis Menu Etong Pertama di Subang

with one comment

Sore menjelang, aktifitas warga Subang di wilayah perkotaan pun perlahan menyurut. Biasanya mendekati gelap seperti itu, angkutan kota yang rajin mengelilingi kota Subang mulai hilang satu per satu kembali ke kandangnya. Begitu mendekati malam, Subang memang relatif tak terlalu ramai dengan hiruk pikuk manusia, bahkan cenderung sepi.

Tapi, denyut nadi kota Subang tak serta merta terhenti, tepatnya di seberang SMP 1 yang bersebelahan dengan RS PPN, sebuah lapak justru baru saja dibuka. Beberapa orang tampak sibuk memasang tenda, mengatur kursi dan meja serta memajang-majang perlengkapan makan pada sebuah gerobak yang memiliki etalase kaca. Dalam beberapa menit, lapak tersebut tertata rapi sebagai sebuah tenda yang menyediakan masakan dengan menu utama ikan bakar.

Warung tenda tersebut berlokasi persis di tengah-tengah pintu gerbang tak terpakai di sisi jalan raya. Posisinya nyempil di sisi sebuah lahan tak terpakai yang ada di samping Subang Plaza Hotel. Tapi meski ada di pinggir jalan raya, wilayah operasinya berada di luar trotoar jalan karena sedikit masuk ke pekarangan lahan tak terpakai itu.

Begitu sudah dibuka, dalam hitungan menit mulai berdatangan pembeli yang datang ke sana. Sekejap saja kepulan asap dan bau wangi bakaran ikan beserta bumbunya sudah berhembus dan tertiup angin ke mana-mana. Aromanya benar-benar menggoda. Beberapa orang yang menjadi karyawan warung tenda tersebut tampak sibuk hilir mudik.

Di luar tenda, ada yang sibuk membakar ikan di pembakaran, sebagian kerepotan menyisit ikan atau cumi-cumi di bagian belakang. Sementara di bagian dalam tenda, salah seorang membagi-bagikan piring penuh nasi dan gelas berisi air putih pada konsumen yang sudah duduk rapi menunggu masakan disajikan.

Kesibukan terus berlanjut karena konsumen terus berdatangan. Dengan terampil seorang karyawan membereskan sisa-sisa makan dan membersihkan meja begitu serombongan pejabat yang selesai menikmati ikan bakar berlalu. Giliran sebuah keluarga masuk dan duduk menunggu masakan dihidangkan. Begitu seterusnya.

Belakangan, barulah diketahui bahwa lapak itu adalah warung tenda yang dikenal sebagai salah satu tempat favorit di Subang yang menyediakan bermacam ikan bakar lezat plus beberapa menu sea food. Nama yang tertulis di spanduknya kelihatan sudah sangat akrab dengan warga Subang yang rata-rata merupakan pelanggannya.

Cerita kesuksesan warung tenda itu cukup unik. Beberapa tahun silam, bermodal keberanian, pemilik warung ikan bakar tersebut nekat masuk ke Subang dan menawarkan ikan Etong yang merupakan santapan khas warga Pantai Utara (Pamanukan) sebagai menu utamanya. Tak disangka-sangka, produk yang dijajakannya ternyata diminati warga Subang. Tak genap setahun jadilah jadilah mereka penyedia ikan bakar Etong pertama yang menikmati sukses di kota Nanas tersebut.

Langkah yang dirintis pemiliknya yang bernama Badru lantas diikuti pedagang lain. Alhasil, kini cukup banyak lapak-lapak yang menyediakan ikan bakar Etong di beberapa wilayah kota Subang. Tapi, tetap saja sebagai pelopor, warung tenda tersebut tak pernah ditinggalkan konsumen. Apalagi, menurut pemiliknya bumbu rahasia untuk ikan bakar yang jadi andalan itu memiliki cita rasa tersendiri yang tak bisa ditiru para pesaing sejenis.

Kini, dengan menu-menu seharga Rp 15 – 25 ribu, warung ikan bakar itu masih rutin dikunjungi pelanggan setianya. Selain ikan Etong, menu-menu lain seperti cumi, ikan Kakap pun tak kalah laris diburu. Pada akhir pekan bisa dipastikan tak ada ruang tersisa untuk duduk di dalam warung tenda. Tepat jam satu malam, waktu rutin tutup, menu yang ada sudah ludes tak bersisa.

Written by haripitra

Agustus 31, 2010 at 5:21 pm

Ditulis dalam Kuliner

Tagged with , ,

Lindungi Industri Telekomunikasi Tanah Air!

leave a comment »

Courtessy of detik.comHarus diakui, Industri selular berhasil menyumbangkan sebuah sarana komunikasi praktis bagi masyarakat Tanah Air. Bahkan, teknologi selular saat ini seolah-olah sudah menjadi bagian dari kebutuhan hidup yang tak terpisahkan lagi. Namun, meski kemerdekaan berkomunikasi tanpa batasan jarak dan waktu seolah telah diperoleh, masih cukup banyak hal mengganjal dalam prosesnya.

Jika merunut sejarah industri selular di Tanah Air, kita bisa melihat layanan jasa komunikasi tanpa kabel ini dimulai pada akhir 1993, saat PT Telkom memulai proyek percontohan seluler digital Global System for Mobile (GSM) di Pulau Batam dan Pulau Bintan.

Lantas pada 1994, PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) beroperasi sebagai operator GSM pertama Indonesia yang mengawali kegiatan bisnisnya di Jakarta dan sekitarnya. Di 1995, Telkomsel pun masuk ke dalam industri ini menjadi operator GSM nasional bersama Satelindo. Akhir 1996, PT Excelcomindo Pratama (Excelcom) pun beroperasi menjadi operator GSM nasional ketiga di Indonesia.

Pada 1997, Telkomsel memperkenalkan kartu prabayar GSM pertama di Indonesia yang dinamai Simpati sebagai alternatif dari kartu pasca bayar Kartu HALO. Menyusul Excelcom meluncurkan kartu prabayar Pro-XL serta Satelindo dengan kartu prabayar Mentari. Akhirnya kartu prabayar pun mengalami booming, karena lebih praktis ketimbang pasca bayar.

Munculnya operator baru serta kompetisi yang semakin memanas mendorong pemerintah menelurkan berbagai regulasi untuk menunjangnya. Sayangnya, sejak awal peraturan pemerintah menyangkut industri selular banyak yang prematur.

Sehingga kemudian celah-celah yang cacat itu dimanfaatkan operator guna mengeruk keuntungan bisnis. Di sisi lain, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) sebagai regulator yang ditunjuk pemerintah pun kredibilitasnya diragukan karena masih ada kaitannya dengan Dirjen Postel.

Operator pun memanfaatkannya untuk meraih profit sebanyak-banyaknya dengan cara kurang terpuji. Namun, kebusukan itu akhirnya mulai terkuak. Monopoli tarif voice dan kartel SMS yang mencuat akhir 2007 membuat beberapa operator divonis bersalah dan dihukum denda. Konsumen dirugikan karena harus membayar di luar tarif yang rasional.

Tapi, tampaknya operator tak jera. Belum kelar kasus yang terjadi, giliran isu penurunan kualitas mencuat ke permukaan. Karena ulah operator yang jor-joran menggelar tarif promosi tanpa mempertimbangkan kapasitas serta kemampuan jaringan, terjadilah gangguan komunikasi yang cukup parah saat trafik penggunaan membludak.

Konsumen kembali dirugikan, karena selama perang tarif promosi berlangsung, meski harga relatif turun layanan sebagian besar operator pun ikut menurun drastis. Di sisi lain, tarif regular alias tarif ‘resmi’ justru masih tak kunjung rasional. Sementara dalam hal layanan masih sering terjadi drop call atau sulit mendapat sambungan. Di kota-kota kecil, terutama yang baru saja mendapat layanan, mutu suaranya tidak begitu bagus.

Untuk memanfaatkan layanan selular memang ada beban dan biaya yang harus dikeluarkan oleh setiap individu penggunanya. Ya, pemeo ‘tak ada sesuatu yang gratis’ benar adanya jika menyangkut bisnis di dalamnya. Tapi dalam industri selular, karena menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan bisnis sepatutnya ditempatkan di bawah kepentingan bersama.

Namun di Tanah Air, posisi kepentingan bersama sepertinya masih kalah dari kepentingan bisnis. Potensi keuntungan yang diraup operator selular Tanah Air ketimbang profit yang dirasakan konsumen penggunanya belum seimbang. Kasarnya, antara jasa yang dijual operator dengan layanan yang diterima konsumen tak proporsional alias masih berat sebelah.

Ini bisa menjadi alasan kuat supaya pemerintah menjaga sektor telekomunikasi serta tidak melepaskan sektor strategis ini sepenuhnya pada swasta dan mekanisme pasar. Kebutuhan untuk membuat regulasi yang tepat harus bersandar pada penguasaan hajat hidup orang banyak yang tertera dalam Undang-Undang Dasar (UUD) negara ini.

Terakhir, sementara regulasi QoS telah rampung, entah kecolongan atau memang sengaja, aturan memadai yang membungkus kualitas layanan data ternyata belum ada (baru voice dan SMS). Padahal perjalanan layanan dalam industri seluler sendiri sudah terbaca notabene bakal menyeruak ke sektor tersebut setelah voice dan SMS.

Sangat disayangkan, pemerintah kurang tanggap menyikapinya mengingat konsumen tak biasa berbuat apa-apa mesti selama beberapa bulan terakhir layanan data sempat terseok-seok dan mengecewakan banyak pihak, khususnya pengguna seluler. Mau bagaimana? Aturannya belum jelas dan bisa dibilang tak ada.

Sekarang dan untuk masa depan, saatnya pemerintah membuat regulasi yang bisa memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak yang terkait dengan sektor ini baik. Ya, industri selular yang dinamis serta memiliki pasar yang besar membutuhkan peraturan resmi yang bisa menjamin keberadaannya serta melindungi berbagai komponen di dalamnya termasuk pelaku usaha.

Written by haripitra

Agustus 31, 2010 at 4:45 pm

Tentang Bukan Empat Mata!

with 2 comments

Saya yakin pasti banyak yang menyadari bahwa candaan di acara Bukan Empat Mata-nya Mas Tukul kadang keterlaluan dan berlebihan. Saya juga sering merasa kurang sreg dengan candaan yang mengarah pada fisik dan mengumbar kejelekan seseorang.

Tapi lama-lama, jika dilihat dari sudut pandang berbeda, saya mulai merasa selalu ada pesan moral serta pelajaran yang bisa dipetik dari acara tersebut. Saya seperti diseret oleh sesuatu untuk menemukan bahwa dari Mas Tukul saya mendapati satu sosok berani dan mengalir tanpa beban.

Mas Tukul berani mengakui kelemahannya, berani mengakui kekurangannya, tetapi sekaligus mengubahnya jadi kelebihan yang bisa membuat banyak kepala yang merasa “lebih” atau “hebat” jadi tertunduk malu karena mengakui “kekurangannya”.

Kehadiran Bukan Empat Mata sendiri sebenarnya tergolong  biasa-biasa saja buat saya pribadi. Saya juga kadang suka kadang tidak dengan candaannya. Tapi ternyata ada sesuatu yang bisa saya petik, ada sesuatu yang ternyata menggelitik saat melihat cara Mas Tukul membuat bintang tamu (plus penonton di rumah) tersadar kena sentilnya.

Saya mendadak salut dengan cara Mas Tukul membuat penonton membuka mata, cara dia mendorong bintang tamu supaya melongok ke dalam dirinya sendiri.

Buat saya, apa yang dilakukan Mas Tukul tiba-tiba seperti mendorong
saya dan orang-orang lain supaya berkaca lagi melihat dirinya sendiri.
Bagaimana tidak, dia berani melihat dirinya sendiri, mengakui dirinya
sendiri, jujur pada diri sendiri dan orang lain tentang kekurangannya.

Mas Tukul justru merasa kikuk kalau orang lain menganggapnya ganteng,
keren atau cool. Sementara di luar acara itu, di dunia nyata, banyak
orang justru berlomba memasang topeng untuk menutupi kebusukan dirinya.

Yups, mari kita kembali ke laptop sejenak, melongok diri kita sendiri
yang kadangkala bertopeng dan nggak pernah mau mengakui bahwa kita
punya kekurangan. Yuk, jujur pada diri sendiri dan orang lain supaya
kita bisa sedikit memandang hidup lebih nyaman ala Mas Tukul. Mari jujur dan review diri sendiri selama puasa bergulir. Sebelum menikmati hari raya yang selalu kita rindukan.

Selamat Menunaikan Ibadah Puasa.

Written by haripitra

Agustus 31, 2010 at 4:33 pm

Ditulis dalam Pencerahan

Tagged with , ,